Friday, August 22, 2014

Masjid Ibrahim - Hebron


Satu sudut ruang masjid Ibrahim
Saya beruntung ketika kami ke Hebron, suasana keamanan di wilayah ini sedang kondusif. Pemandu kami bilang bahwa wilayah Hebron adalah salah satu wilayah konflik Palestina-Israel yang paling sering terjadi bentrok. Setelah memasuki check point Israel dengan standar yang sangat ketat karena dijaga pasukan bersenjata, kami seperti memasuki sebuah real estate mewah pemukiman warga Israel. Hari itu hari Sabtu, hari Sabat kaum Yahudi, hari dimana mereka tidak diperkenankan bekerja dan bepergian dengan kendaraan bermotor, tampak beberapa warga berjalan jalan di lingkungan yang bersih dan asri itu. Kaum pria menggunakan kopiah kecil di Kepala, sementara kaum wanita menggunakan semacam kain yang diikatkan di Kepala menutupi sebagian rambut. Suasana lingkungan sangat mirip di Negara barat/maju, bukan saja karena suasana kemewahan real estate tadi, namun juga karena orang-orangnya yang berkulit putih dan berambut pirang. Pemandu kami bilang bahwa mereka adalah kaum yahudi immigrant yang dipindahkan dari Negara Negara Eropa Timur seperti Rumania dan Polandia, dimana mereka didatangkan ke tanah Palestina ini dengan diberi paket rumah komplit dengan pekerjaan.
Hari Sabat, umat Yahudi tidak beraktivitas.
Hari Sabat, mengenakan kopiah + jubah.


Di ujung pemukiman mewah itu kami melewati sebuah bukit kecil dimana terdapat lambang Bintang Daud/David biru, pemandu kami bilang ini salah satu tempat historis/religious kaum yahudi tempat mereka melakukan semacam retreat, kami melihat beberapa pria Yahudi dengan kopiah kecil, baju putih, dan beberapa dengan jubah putih Yahudi bercengkerama di bukit itu. Keluar dari kompleks real estate mewah Yahudi tadi, kami memasuki jalanan kecil dengan banyak flat yang sebagian hancur tak terawatt dan terkesan kumuh, yang merupakan pemukiman warga Palestina. Terlihat disana sini kendaraan militer dan tentara Israel berjaga jaga dengan senapan di tangan. Kamipun diwanti wanti untuk tidak memotret meskipun di dalam bis, karena tentara Israel bisa berbuat apa saja sesuka hati mereka.
Masjid Ibrahim, Hebron
Setelah melewati beberapa tikungan dengan banyak penjagaan tentara Israel bersenjata lengkap, kamipun tiba di semacam plaza di kaki bukit, dimana banyak sekali bendera bendera Israel. Begitu keluar dari bus, pengemis anak anak dan pedagang asongan bangsa Palestina mengerubuti kami. Kami sudah dipesan untuk tidak memberi uang ataupun membeli pada pedagang asongan tsb karena akan semakin banyak yang mengerubuti kami nantinya. Di atas bukit itu kami melihat bangunan seperti benteng kecil, dengan bendera Israel di atasnya. Itulah masjid Ibrahim, dimana sekarang ini bangunan tersebut dibagi menjadi dua bagian, bagian Yahudi dan bagian Islam. Nabi Ibrahim memang milik 3 agama samawi : Yahudi, Kristen dan Islam. Sebelum tahun 1994 bangunan ini sepenuhnya dibawah kekuasaan umat Islam, namun setelah penyerangan masjid oleh seorang Yahudi bernama Baruch Goldstein yang menewaskan puluhan umat muslim (dan ybs kemudian bunuh dir), masjid ini kemudian dibagi dua untuk kaum Yahudi dan Islam. Bagi kaum Yahudi, Baruch Goldstein adalah pahlawan yang merebut kembali tempat ini dari kekuasaan Islam. Begitulah sejarah, tergantung dari sisi mana ditulisnya……

Tentara Israel di depan bus kami
 Tempat ini dinamakan juga ‘Cave of the Patriarchs’, karena disini bersemayam para leluhur ke-3 agama langit tersebut, yakni : nabi Ibrahim (beserta istrinya Sarah); nabi Ishak/Isaac bin Ibrahim (beserta istrinya Rebecca/Ribka) ; dan nabi Yaqub bin Ishak (beserta istrinya Leah). Ruangan makam nabi Ibrahim berada di ujung dalam masjid ditutupi kain hijau dan terdapat 3 jendela pandang, 2 jendela di sisi muslim area dan 1 jendela di sisi Yahudi area. Terdengar suara doa2 dan musik2 Yahudi dari sisi jendela Yahudi. Sementara makam nabi Ishak dan Yaqub ada di main prayer hall area of the masjid, di dalam 2 ruang terpisah dengan cungkup hitam dengan jendela pandang kecil. Area yang bisa diakses untuk umum hanyalah satu level lantai saja, sementara ada semacam lantai dibawah/basement yang tidak bisa diakses, dan makam2 tersebut sebenarnya dibuat tinggi karena actual-nya ada di sisi level bawah/basement tersebut. Ini juga karena tempat ini berada di bukit, dimana kontur tanahnya tidak rata.

Makam Nabi Ibrahim a.s.


 Sebenarnya tempat ini adalah makam keluarga, dari kakek (Ibrahim), anak (Ishak) dan cucu (Yaqub), dimana dari turunan keluarga inilah kemudian ajarannya menyebar ke seluruh penjuru dunia, menjadi agama agama mayoritas penduduk planet ini. Saya sempat duduk menepi di satu sudut masjid ini, termenung membayangkan bagaimana dari seorang manusia pilihan seperti Ibrahim, kemudian keturunannya menyebar menjadi nabi nabi bani Israil (dari garis Ishak) dan Arab ( dari garis Ismail) yang pada akhirnya ajarannya menjadi agama pilihan bagi tuntunan hidup manusia di dunia. Saya juga membayangkan bagaimana seandainya Ibrahim sekarang ini melihat anak cucunya saling bertikai menumpahkan darah …..


Makam Ishak+Rebecca di sisi kanan, dan makam Yaqub+Leah di kiri,


Hebron, 5 April 2014

 http://en.wikipedia.org/wiki/Cave_of_the_Patriarchs_massacre


Wednesday, August 3, 2011

Lemon Tea, Coklat dan Keripik Kentang…

Pukul lima sore lebih tiga puluh menit ketika mobilku meluncur meninggalkan kantor sore itu. Seperti biasa, jalan didepan kantor macet, parah, apalagi ada perbaikan jalan. Berbekal satu botol lemon tea, keripik kentang dan sebatang coklat yang baru aku beli di basement kantor buat buka puasa di jalan, aku pasrah saja dengan kondisi lalu lintas, mau gimana lagi ? Sore itu memang pulang agak telat, ada meeting yang molor. Meskipun aku sdh gak bisa konsentrasi, tapi aku gak bisa cabut begitu saja. Namun akhirnya temen expat-ku ngerti juga, meeting harus diakhiri meski urusan belum selesai juga, utk menghormati kita kita yang berpuasa katanya (selain gak ada guna dilanjutkan, sdh gak bisa mikir bathinku….)

Adzan maghrib berkumandang tepat ketika mobilku melintas di depan pom bensin Pertamina TB Simatupang, sekitar dua ratus meter dari kantorku. Nikmat sekali segarnya lemon tea menggelontor kerongkongan keringku…beberapa potong coklat dan keripik kentang juga serasa makanan hotel bintang lima…hhmmm
Lalu lintas masih macet, para pengendara sepeda motor menghentikan kendaraannya di pinggir jalan, menyerbu Convenience store yang ada di pom bensin, juga menyerbu beberapa pedagang kakilima di pinggir jalan…. Tampang tampang kucel pengendara motor itu tampak sedikit lega, seperti menemukan oasis, meski hanya berbuka dengan air putih dan biscuit atau permen seadanya. Kasihan juga melihat tampang tampang lusuh di balik helm yang biasanya bikin jengkel karena ulahnya yang tak tahu aturan berkendara, kini mereka rehat sejenak utk berbuka. Mengurut tepian jalan, mataku tertumbuk pada satu keluarga, sepasang suami istri dengan seorang anak yang memarkir sepeda motornya dan turut berbuka di halte bis di pinggir jalan itu. Dengan bekal buka puasa yang dikeluarkan dari tas sang istri, kelihatan nikmat sekali keluarga itu berbuka. Melihat ketiganya berbuka puasa bersama, meski sangat bersahaja, aku iri….namun aku tersenyum ikut senang melihat pemandangan yang buatku begitu indah itu….

Perlahan mobilku merayap mengikuti pergerakan kemacetan, mendekati perempatan lampu merah Cilandak, sang biang kerok kemacetan abadi di kawasan itu. Tiba tiba mataku tertumbuk pada kericuhan di sisi kananku... ada beberapa pria sedang bertengkar dan beradu fisik di tengah jalan, ada bebarapa pria lain dan seorang wanita yang mencoba melerai... Sepertinya terjadi sedikit kecelakaan, tepatnya senggolan antar mobil, yang menyebabkan kericuhan kecil tadi. Berantem...hhhww...emangnya persoalan jadi selesai ? Sore hari pulang kantor di bulan Ramadhan memang kesabaran kita diuji betul di jalanan yang super macet. Semua orang berlomba lomba untuk cepat sampai di rumah, berbuka bersama keluarga. Jika kita hilang kesabaran, alih alih berkumpul bersama keluarga, yang ada kita jadi berurusan utk hal yang paling kita hindari, plus bonus mobil jadi lecet….

Terperangkap di dalam kemacetan membuat kita jadi memperhatikan hal hal sepele yang ada di sekitar. Kadang hal hal yang sepele tadi mengingatkan kita akan sesuatu atau memberikan suatu pelajaran buat kita. Satu yang aku percaya, semua yang terjadi bukanlah suatu kebetulan, dan semua ada maknanya…….

Bulan sabit kecil menyembul di langit sebelah Barat, indah sekali, ketika aku memarkir mobilku di carport rumah. Saat itu, tepat adzan shalat Isya berkumandang…sebotol lemon tea, satu batang coklat, dan sebungkus keripik kentang, semua tinggal botol dan bungkusnya saja….

Jakarta, 3 Ramadhan 1432H

Wednesday, November 10, 2010

Ichan Kala...




Matahari baru saja tenggelam, hari belum terlalu gelap benar, masih ada sedikit terang di ufuk Barat, agak sedikit ke Selatan. Lampu lampu belum mulai dinyalakan, jalanan batu, tembok tembok tinggi dari bata tanah mentah makin memperlihatkan relung keindahannya dibawah sinar temaram. Madrasah, Minaret, Caravanserai, Mausoleum, serta Monumen monumen untuk menghormati para leluhur itu masih berdiri tegak, setegak ratusan tahu lalu ketika mereka pertama kali berdiri.... Kakiku terus mengayun perlahan menyusuri jalanan batu, jalanan yang sama ratusan tahun lalu yang ditapaki murid murid Madrasah, para ulama, serta para pedagang yg membawa sutra dari negeri Timur yang jauh..... Tembok tembok tua itu memancarkan aura keagungan yang luar biasa, dan berjalan di dalam labirin labirin nya akan menghanyutkan kita ke masa lalu yang amat jauh...Hhmmm.. sayup sayup aku mendengar suara anak anak menderas Al-Quran, sambil menajamkan indra pendengaranku, perlahan aku coba ikuti sumber suara itu. Langkahku terhenti di depan gerbang kayu tinggi bangunan sebuah Madrasah, tepatnya Mohammad Rakhim Khan Madrasah.... ini pasti suara para murid Madrasah yang sedang menyelesaikan salah satu tugas rutin mereka pikirku....Terbayang dianganku kehidupan didalam tembok Madrasah itu, semacam kehidupan di pesantren di tanah air. Yang membedakan hanyalah mereka belajar dan tinggal didalam bangunan kokoh yang memancarkan kewibawaan dan keanggunan... Aku masih berdiri terpaku di pintu gerbang kayu dengan hiasan ukiran nan indah sekali ..... terhanyut aku menikmati suatu rasa yang sangat menggetarkan, jiwa yang terbuai oleh ngelangut-nya suasana yang penuh kedamaian ...menjalar keseluruh tubuh
“Sir, we’re closed ¡” suara perempuan paruh baya itu mengagetkan aku, sekaligus membawaku kembali ke real time, ke masa kini,!!!…… Aaaahhh ngganggu aja nih si Ibu, gerutuku sambil ngeloyor pergi….petugas penjaga karcis di Ichan Kala (bahkan di seantero negeri Uzbekistan yang saya pernah temui), semuanya adalah ibu ibu paruh baya, berbadan subur, dengan pakaian warna warni menyala, dengan potongan baju model daster rumahan, yang sebenarnya merupakan pakaian tradisional wanita Uzbek



Bangunan Madrasah itu masih tetap kukuh berdiri setelah ratusan tahun, hanya saja bukan murid murid yang belajar agama yang mengisi ruang ruangnya sekarang, melainkan para pedagang souvenir dan pengrajin tradisional yang mencoba meraup rejeki dari para wisatawan manca. Ichan Kala, hanyalah satu oase di padang gurun Asia Tengah. Awalnya kota ini menjadi pemberhentian sementara bagi para pedagang di Jalur perdagangan Sutra dari China (Silk Road), yang menyediakan tempat peristirahatan sementara dan semua pelayanan untuk caravan caravan kaum pedagang (Caravanserai) sebelum melanjutkan perjalanan ke Barat. Dalam perjalanannya, tempat ini berkembang menjadi salah satu pusat study agama Islam seiring dengan letak strategisnya di jalur persimpangan perdagangan Timur – Barat dan Selatan, seperti hal-nya Samarkand dan Bukhara yang melahirkan ulama ulama terkemuka, seperti Imam Bukhori misalnya, yang kita kenal dengan kumpulan hadits-nya yang paling banyak dipakai rujukan umat muslim sedunia. Barangkali Imam Bukhori dulu juga belajar di Madrasah Madrasah seperti ini, aku cuma bisa menduga...



Aku melanjutkan langkahku menyusuri labirin labirin sempit jalanan batu, mencoba untuk mengais sisa sisa aura yang tertinggal, dari masa keemasan dulu..... Sesekali aku bertemu satu dua atau beberapa orang turis, yang juga berjalan hening dan perlahan.... ternyata aku tidak sendiri...
Ichan Kala ternyata bukanlah sekedar Tembok Benteng tinggi dengan bangunan bangunan kuno-nya yang membisu. Bagi mereka yang yang merindukan kedamaian ketentraman jiwa akan romantisme kenangan indah abad yang telah lalu, labirin labirin tembok Madrasah, Caravanserai, Masjid dan Mausoleum itu menyediakan ruang yang tak berhingga luasnya...seluas langit malam yang selalu terlihat indah penuh dengan bintang bintang di tengah padang gurun Asia Tengah itu....
Ichan Kala....

Friday, May 16, 2008

My Dear Olive Tree

That was May 13th 2008’s episode of “Witness” TV program, my favorite program at Aljazeera channel. “Witnesss” is a documentary program, talks about social aspect of human life, from many different kind of background around the globe. What I like about Aljazeera is it gives different kind of angle on seeing this world which currently is dominated by western’s way of thinking (I think we need some more independent channels like this). And what I do like the most of “Witness” program is, it often presents us the real (sad) situation of how Palestinians struggling their life, how they are forced to leave their homeland by israeli. Other time the program tells about Lebanese children who become disabled as an impact of land mine’s blast on their backyard or playground area, or Palestinian school children who study in schools under bullets whistling. “Witness" is a real witness, telling the world, that in the land with the longest history of modern human civization on earth, has never been a break of conflict, and far away from peace.

That night I learned, how Palestinian has to fight against israeli troops, day after day. ‘My land is my life’ the old man said to the reporter, to picture his fight for the land that has been heritage from his ancestors for hundreds of years. Instantly, I feel blessed living in Indonesia, I can sleep well everyday without any disturbance. I can go to work or to other activities without any worry that my home will be bulldozered by strangers, without any worry my land will be looted by strangers, and then they install fences around so that even We can not go home, to our owned land. Palestinian has to be worry, every minute every second as the land that has been lived for hundreds year, can be at anytime looted by Israeli who claims this is israeli’s land that is “promised” by God.

The big bulldozer, guarded by fully armed of Israeli troops, destroyed hundreds of olive trees, which are full of olive fruits on their branches and were being harvest. The small Olive plantation is run by around twenties families, who are totally depended their life on this small plantation only. Young Men, Old Men, even women with no arm, fight for their land, their plantation, their olive trees, against fully armed Israeli’s troop and big bulldozer, who with no respect at all continued destroying the olive trees. But their no fear fight is useless, One by one, the olive trees – the symbol of peace for Arabian – came down.


The Palestinian has shown us and taught us, that the essence of life is to fight. On their world, to fight is to stand for their land that has been heritage for hundreds years. Land is life for everyone. Without this land which is laid between Dead sea and Mediterania sea, Palestine is not a nation, and Palestinian does not exist. If their fight is not yet a success (for now), that’s different story. For them, and also for all of us, the most important thing in this life and become the essence of life is, We have to keep fighting, no surrender, ....and let God take care the rest…..

My prayer will always be with you my brothers and sisters Palestinian….